Senin, 28 Januari 2013

PROPOSAL PENELITIAN (herlina humaira)



MODEL PEMBELAJARAN AUDITORY, INTELECTUALLY  AND  REPETITION (AIR) PADA MATA PELAJARAN MATEMATIKA DI KELAS VIII SISWA MTsN 2 BUKITTINGGI
PROPOSAL PENELITIAN





Oleh:
HERLINA HUMAIRA
2410.003



Dosen pembimbing
Imamuddin, M.Pd



PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
SJECH M. DJAMIL DJAMBEK
BUKITTINGGI
2012 M/1434 H


DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang.......................................................................................... 1
B.     Identifikasi Masalah                                                                  ................ 6
C.     Batasan Masalah....................................................................................... 6
D.    Rumusan Masalah   ................................................................................... 6
E.     Tujuan Penelitian....................................................................................... 7
F.      Manfaat Penelitian   .................................................................................. 8
G.    Defenisi Operasional................................................................................. 8
BAB II KAJIAN TEORI
A.    Landasan Teori.......................................................................................... 9
1.         Belajar dan pembelajaran matematika                                                9
2.         Pembelajaran kooperatif dalam pembelajaran matematika  .............. 11
3.         Pembelajaran kreatif                                                                           17
4.         Model Auditory, intellectually, repetition (AIR) ............................. 19
5.         Pembentukan Kelompok   ................................................................. 24
6.         Pembelajaran konvensional  .............................................................. 27
7.         Aktivitas   ......................................................................................... 28
8.         Kemampuan guru dalam melaksanakan pembelajaran   .................... 28
9.         Kemampuan penalaran   .................................................................... 30
10.     Hasil belajar ...................................................................................... 34
B.     Kerangka konseptual  .............................................................................. 36
C.     Hipotesis  .................................................................................................. 36
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A.    Jenis penelitian ......................................................................................... 37
B.     Rancangan penelitian  .............................................................................. 37
C.     Populasi dan sampel  ................................................................................ 38
D.    Variable data dan sumber data ................................................................. 43
E.     Prosedur penelitian ................................................................................... 45
F.      Instrument penelitian  .............................................................................. 48
G.    Teknik analisis data   ................................................................................ 54
DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Dalam Al-Quran surat Al-Mujadalah ayat 11 dijelaskan:
http://www.dudung.net/images/quran/58/58_11.png
Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis", maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.[1]
Ayat di atas menggambarkan bahwa pentingnya ilmu pengetahuan bagi manusia, serta anjuran untuk selalu menuntut ilmu agar Allah meninggikan derajat kita. Manusia harus selalu berusaha untuk menambah ilmu pengetahuan serta mencarinya. Agar Allah memudahkan baginya jalan untuk menuju surga.
Begitu juga dengan pendidikan. Pendidikan merupakan suatu aspek pembangunan yang harus dikembangkan. Melalui pendidikan diharapkan bangsa Indonesia dapat mengejar ketinggalannya dalam bidang sains dan teknologi agar sejajar dengan negara yang lebih maju. Oleh sebab itu pemerintah selalu berusaha untuk meningkatkan mutu pendidikan misalnya dengan pengembangan dan penyempurnaan kurikulum, meningkatkan kualitas guru mata pelajaran dan melengkapi sarana dan prasarana yang dibutuhkan pada semua jejang pendidikan.
Peranan matematika dalam dunia pendidikan sangatlah penting, karena matematika sebagai sumber dari ilmu yang lain. Menurut Kline bahwa “matematika itu bukanlah pengetahuan menyendiri yang dapat sempurna karena dirinya sendiri. Tetapi adanya matematika itu terutama untuk membantu manusia dalam memahami dan menguasai permasalahan sosial, ekonomi, dan alam.[2] Oleh karena itu matematika merupakan mata pelajaran wajib yang diajarkan di sekolah mulai dari sekolah dasar, sekolah menengah sampai ke perguruan tinggi.
            Mengingat pentingnya pelajaran matematika maka guru diharapkan mampu mendidik dan melatih siswa agar tujuan pembelajaran matematika dapat dicapai. Keberhasilan siswa dalam memahami matematika di sekolah dapat dilihat dari hasil belajar yang dicapai.
Kenyataan dilapangan menunjukkan bahwa belum sepenuhnya hasil belajar matematika mencapai target Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM). Hal ini terlihat dari persentase ketuntasan nilai Semester matematika di kelas VIII siswa MTsN 2 Bukittinggi pada tabel di bawah ini:
Tabel 1: Persentase Ketuntasan Nilai Semester Ganjil Matematika Di Kelas VIII siswa MTsN 2 Bukittinggi Tahun Pelajaran 2012/2013
Kelas
Jumlah Siswa
% Tuntas
( ≥ 72 )
% Tidak Tuntas
(< 72)
VIII-4
30
60
40
VIII-5
35
57,15
42,85
Sumber: Guru Mata Pelajaran Matematika kelas VIII siswa MTsN 2 Bukittinggi
Berdasarkan tabel di atas persentase ketuntasan nilai semester matematika di kelas VIII siswa MTsN 2 Bukittinggi berkisar antara 57,15 % sampai 60 %.[3]
Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan guru mata pelajaran matematika pada tanggal 23 Januari 2013 di kelas VIII siswa MTsN 2 Bukittinggi, dalam proses pembelajaran siswa pasif,  siswa jarang bertanya kepada guru dan tidak memberikan umpan balik terhadap informasi yang diberikan guru, siswa hanya mengiyakan atau menerima apa yang dikatakan oleh guru dan tidak memberikan usul terhadap suatu masalah. Jika siswa diberikan soal latihan, siswa kurang termotivasi untuk mengerjakannya dan  membutuhkan waktu yang lama untuk mengerjakan latihan tersebut walaupun pada akhirnya latihan tersebut selesai dikerjakan. Kalau tidak disuruh untuk mengerjakan soal latihan, siswa tidak akan mengerjakannya. Dan untuk mengerjakan soal latihan siswa membutuhkan dorongan dari guru.
Berdasarkan indikator kreativitas, yaitu :
a.       Meiliki rasa ingin tahu yang besar.
b.      Sering mengajukan pertanyaan yang berbobot.
c.       Memberikan banyak gagasan dan usul terhadap suatu masalah.
d.      Mampu menyatakan pendapat secara spontan  dan tidak malu-malu.
e.       Mempunyai atau menghargai rasa keindahan.
f.       Mempunyai pendapat sendiri dan dapat mengungkapkannya, tidak mudah terpengaruh orang lain.
g.      Memiliki rasa humor tinggi.
h.      Mempunyai daya imajinasi yang kuat.
i.        Mampu mengajukan pemikirn, gagasan pemecahan masalah yang berbeda dari orang lain (orisinal).
j.        Dapat bekerja sendiri.
k.      Senang mencoba hal-hal baru.
l.        Mampu mengembangkan atau merinci suatu gagasan (kemampuan elaborasi).[4]

Berdasarkan indicator motivasi, yaitu :
a.       Tekun menghadapi tugas
b.      Ulet menghadapi kesulitan
c.       Tidak memerlukan dorongan dari luar untuk berprestasi
d.      Ingin mendalami bahan atau bidang pengetahuan yang diberikan
e.       Selalu berusaha berprestasi sebaik mungkin
f.   Menunjukkan minat terhadap macam-macam masalah orang dewasa (misalnya terhadap pembangunan korupsi, keadilan, dan sebagainya)
g.   Senang dan rajin belajar, penuh semangat, cepat bosn dengan tugas-tugas rutin dalam mempertahankan pendapat-pendapatnya
h.   Mengejar tujuan-tujuan jangka panjang (dapat menunda pemuasan kebutuhan sesaat yang ingin dicapai kemudian)
i.        Senang mencari dan memecahkan soal-soal.[5]
Berdasarkan indicator kretivitas dan indicator motivasi di atas dapat disimpulkan bahwa siswa kelas VIII siswa MTsN 2 Bukittinggi kurang kreatif dan kurang termotivasi dalam pembelajaran matematika.
Kebutuhan akan kreativitas sangat penting. Berkembangnya teknologi serta dampak yang ditimbulkan sangat menuntut kemampuan untuk beradaptasi secara kreatif mencari pemecahan yang imajinatif. Kreatif dipandang dari sudut pendidikan yaitu Proses Belajar Mengajar (PBM) yang hanya menekankan pada hafalan dan mencari satu jawaban yang benar terhadap soal-soal yang diberikan hendaknya ditinggalkan dan kini beralih ke proses-proses pemikiran yang tinggi termasuk berpikir kreatif.
Untuk memperbaiki masalah di atas diperlukan suatu model yang dapat meningkatkan kreativitas siswa dalam belajar. Model yang diberikan guru harus lebih divariasikn lagi sehingga diharapkan tidak ada lagi siswa yang kurang kreatif dalam belajar matematika. Salah satu yang dapat dilakukan oleh guru adalah dengan memilih model pembelajaran Auditory, Intellectually, Repetition (AIR).
Dalam model pembelajaran Auditory, Intellectually, Repetition (AIR) ini siswa dibiasakan untuk menggunakan indera telinga dan kemampuan berpikirnya untuk melakukan pemecahan masalah dan berdasarkan hukum latihan (law of exercise) yang dikemukakan dalam teori Thorndike menyatakan jika proses pengulangan sering terjadi, makin banyak kegiatan ini dilakukan maka hubungan yang terjadi akan bersifat otomatis. Sehingga, siswa yang diberi model pembelajaran AIR ini diharapkan memiliki kemampuan untuk menyelesaikan masalah-masalah kehidupan sehari-hari yang diformulasikan kedalam bentuk matematika serta mampu merepresentasikan hasil pemecahan masalahnya tersebut.
Berdasarkan uraian di atas maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian yang bejudul “ Model Pembelajaran Auditory, Intellectually, Repetition (AIR) pada Mata Pelajaran Matematika di kelas VIII siswa MTsN 2 Bukittinggi ”.
B.     Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka dapat diidentifikasikan masalah-masalah sebagai berikut :
1.      Kreativitas siswa masih kurang
2.      Hasil belajar siswa masih rendah
3.      Kemampuan guru dalam melaksanakan pembelajaran masih kurang.
4.      Motivasi siswa masih kurang
5.      Siswa pasif dalam pembelajaran
C.    Batasan Masalah
Mengingat keterbatasan kemampuan yang dimiliki, maka masalah yang dibahas hanya difokuskan kepada:
1.      Kreativitas siswa masih kurang
2.      Hasil belajar siswa masih rendah
3.      Kemampuan guru dalam melaksanakan pembelajaran masih kurang
D.    Rumusan Masalah
Berdasarkan batasan masalah, maka masalah dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut :
1.         Bagaimana aktivitas siswa kelas VIII siswa MTsN 2 Bukittinggi dengan menggunakan model pembelajaran Auditory, Intellectually, Repetition (AIR)  ?
2.         Apakah hasil belajar matematika siswa menggunakan model pembelajaran Auditory, Intellectually, Repetition (AIR) lebih baik daripada hasil belajar matematika siswa yang menggunakan pembelajaran konvensional di kelas VIII  siswa MTsN 2 Bukittinggi ?
3.         Bagaimana kemampuan guru dalam melaksanakan pembelajaran matematika dengan model pembelajaran  Auditory, Intellectually, Repetition (AIR) di kelas VIII siswa MTsN 2 Bukittinggi ?
E.     Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan penelitian yang akan diteliti, maka penelitian ini bertujuan untuk :
1.         Mengetahui aktivitas siswa kelas VIII siswa MTsN 2 Bukittinggi dengan menggunakan model pembelajaran Auditory, Intellectually, Repetition (AIR).
2.         Mendapatkan informasi apakah hasil belajar matematika di kelas VIII siswa MTsN 2 Bukittinggi yang menggunakan model pembelajaran Auditory, Intellectually, Repetition (AIR) lebih baik dari pada hasil belajar matematika siswa yang menggunakan model pembelajaran konvensional.
3.         Mengetahui kemampuan guru dalam melaksanakan model pembelajaran matematika dengan menggunakan model pembelajaran Auditory, Intellectually, Repetition (AIR) di kelas   VIII siswa MTsN 2 Bukittinggi.
F.     Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini bermanfaat untuk :
1.      Sebagai salah satu alternative untuk mengembangkan kemampuan pemahaman konsep dan komunikasi matematika siswa dalam pembelajaran.
2.      Sebagai pertimbangan bagi guru atau pengajar dalam memilih dan merencanakan model atau metode pembelajaran.
3.      Menambah bekal bagi peneliti dimasa yang akan datang.
Defenisi Operasional
1.      Model Auditory, Intellectually, Repetition (AIR)
Model pembelajaran AIR adalah model pembelajaran yang menganggap bahwa suatu pembelajaran akan efektif  jika memperhatikan tiga hal, yaitu Auditory, Intellectually, Repetition.
Auditory berarti indera telinga digunakan dalam belajar dengan cara menyimak, berbicara, presentasi, argumentasi, mengemukakan pendapat, dan menanggapi.
Intellectually berarti kemampuan berpikir perlu  dilatih melalui latihan bernalar, mencipta, memecahkan masalah, mengkonstruksi, dan menerapkan.
Repetition berarti pengulangan diperlukan dalam pembelajaran agar pemahaman lebih mendalam dan lebih luas, siswa perlu dilatih melalui pengerjaan soal, pemberian tugas, dan kuis.
2.      Pembelajaran konvensional
Pembelajaran matematika secara konvensional adalah suatu kegiatan belajar mengajar yang lebih didominasi oleh guru dimana guru mengajar secara klasikal dengan metode ekspositori dan siswa hanya menerima apa yang disampaikan oleh guru, kesempatan siswa untuk membangun pemahaman konsep sangat kurang sehingga siswa menjadi pasif dalam belajar.
3.      Aktivitas siswa
Pada prinsipnya belajar adalah berbuat. Berbuat untuk mengubah tingkah laku jadi melakukan kegiatan. Tidak ada belajar kalau tidak ada aktivitas. Itulah sebabnya aktivitas merupakan prinsip atau dasar yang sangat penting di dalam interaksi belajar mangajar.
4.      Hasil Belajar
Hasil belajar dapat dilihat dari perubahan tingkah laku siswa setelah terjadi proses belajar mengajar. Perubahan tersebut dapat dalam bentuk perubahan terhadap ilmu pengetahuan, keterampilan dan sikap.



[1] Depertemen Agama RI Alquran dan terkemahan (Jakarta: yayasan penyelenggaraan penerjemah Al Quran, 1983),h.910
[2] Erman Suherman , Common Text Book Strategi Pembelajaran Matematika Contemporer, (Bandung: JICA Universitas Pendidikan Indonesia, 2003), h. 17
[3] Guru Bidang Studi Matematika kelas VIII  MTsN 2 Bukittinggi, MTsN 2 Bukittinggi, 23 Januari 2013
[4] Hamzah B. Uno dan  Nurdin Mohamad, Belajar dengan Pendekatan Pembelajaran Aktif Inovatif  Lingkungan Kreatif Efektif  Menarik, (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), h.252
[5] Hamzah B. Uno dan  Nurdin Mohamad, …, h. 253
BAB II
KAJIAN TEORI
A.       Landasan Teori
1.      Belajar dan Pembelajaran Matematika
Pendidikan pada hakikatnya adalah suatu proses pendewasaan anak didik melalui suatu interaksi, proses dua arah antara guru dan siswa. Hal ini sejalan dengan pendapat Macmud yng mengatakan bahwa “ proses pembelajaran dilakukan oleh pendidik dengan sadar, sengaja, dan penuh tanggung jawab untuk membawa anak didik menjadi dewasa jasmaniah dan rohaniah maupun dewasa social sehingga kelak menjadi orang yang mampu melakukan tugas-tugas jasmaniah maupun berpikir, bersikap berkemauan secara dewasa, dan dapat hidup wajar selamanya serta berani bertanggung jawab atas sikap dan perbuatannya kepada orang lain.[1]
Menurut Suryabrata, belajar adalah suatu proses yang menghasilkan perubahan perilaku yang dilakukan dengan sengaja untuk memperoleh pengetahuan, kecakapan, dan pengalaman baru kearah yang lebih baik.[2]
Belajar merupakan suatu proses dalam kehidupan. Dengan adanya proses tersebut terjadi perubahan sebagai akibat interaksi dengan lingkungan. Menurut Slameto “ belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan sebagai hasil pengalaman sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya”.[3]
Sedangkan menurut Fontana, belajar adalah suatu proses perubahan tingkah laku individu yang relative tetap sebagai hasil dari pengalaman.[4]
Lebih lanjut Dimyati dan Mudjiono menjelaskan belajar adalah proses melibatkan manusia secara orang per orang sebagai satu kesatuan organisme sehingga terjadi perubahan pada pengetahuan, keterampilan dan sikap.[5]
Dari pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa belajar adalah suatu proses perubahan tingkah laku sebagai akibat interaksi dengan lingkungannya, baik perubahan pengetahuan maupun keterampilan dan sikap.
Pembelajaran merupakan upaya penataan lingkungan yang memberi nuansa agar program belajar tumbuh dan berkembang secara optimal. Menurut konsep komunikasi, pembelajaran adalah proses komunikasi fungsional antara siswa dengan guru, dan siswa dengan siswa yang bersangkutan. Guru berperan sebagai komunikator, siswa sebagai komunikasikan berisi pesan berupa ilmu pengetahuan.[6]

Menurut Dimyati dan Mudjiono mendefinisikan pembelajaran sebgai proses yang diselenggarakan oleh guru untuk membelajarkan siswa dalam belajar bagaimana belajar memperoleh dan memproses pengetahuan, keterampilan, dan sikap.[7]
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran adalah suatu pola interaksi antara peserta didik dan pendidik. Dalam kegiatan pembelajaran, guru harus memiliki kemampuan untuk menciptakan suasana belajar yang optimal. Agar kegiatan pembelajaran berjalan dengan kondusif serta tujuan pembelajaran dapat tercapai.
Menurut Russeffendi, “ Matemtika terbentuk ebagai hasil pemikiran manusia yang berhubungan dengan ide proses, dan penalaran.” Pada tahap awal matematika terbentuk dari pengalaman manusia dengan dunianya secara empiris, karena matematika sebagai aktivitas manusia kemudian pengalaman itu diproses dalam dunia rasio, diolah secara analisis dan sintesis dengan penalaran di dalam struktur kognitif sehingga sampailah kepada suatu kesimpulan berupa konsep-konsep matematika.[8]

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa di dalam pembelajaran matematika siswa harus diberi kesempatan yang luas untuk mengkonstruksi sendiri pengetahuan yang dipelajarinya dan siswa harus didorong untuk aktif dalam proses pembelajaran agar siswa dapat memperoleh pemahaman yang lebih baik dari yang sebelumnya.
2.      Pembelajaran Kooperatif dalam Pembelajaran  Matematika
Pembelajaran Kooperatif merupakan model pembelajaran dimana siswa belajar secara berkelompok untuk menyelesaikan atau memecahkan masalah secara bersama untuk mencapai tujuan pembelajaran.
Menurut Robert E. Slavin, “Pembelajaran           Kooperatif merujuk kepada berbagai macam metode pengajaran dimana para siswa bekerja dalam kelompok kecil untuk saling membantu satu sama lainnya dalam mempelajari materi pelajaran. Dalam kelas kooperatif siswa diharapkan dapat saling membantu, saling mendiskusikan, dan berargumentasi untuk mengasah pengetahuan yang mereka kuasai saat itu dan menutup kesenjangan dalam pemahaman masing-masing.” [9]

Berarti dalam pembelajaran kooperatif siswa belajar dalam suatu kelompok kecil yang beranggotakan tiga sampai empat orang yang saling bekerja sama dan bertukar fikiran untuk menyelesaikan suatu masalah yang menyangkut materi pelajaran.
Menurut Anita Lie, model pembelajaran kooperatif learning tidak sama dengan sekedar belajar kelompok , tetapi ada unsu-unsur dasar yang membedakannya dengan pembagian kelompok yang dilakukan asal-asalan. Hal ini diperkuat oleh pendapat Roger dan David Johnson yang  mengatakan bahwa tidak semua kerja kelompok bisa dianggap Cooperative Learning, untuk itu harus diterapkan lima unsur model pembelajaran gotong royong, yaitu:
a.          Saling ketergantungan positif.
Keberhasialn suatu kelompok sangat tergantung kepada usaha setiap anggotanya. Untuk menciptakan kelompok kerja yang efektif, pengajar perlu menyusun tugas sedemikian rupa sehingga setiap anggota kelompok harus menyelesaikan tugasnya sendiri agar yang lain dapat mencapai tujuan mereka.
b.         Tanggung jawab perseorangan
Jika tugas dan pola penialaian dibuat menurut prosedur pembelajaran Cooperative Learning, setiap siswa akan merasa bertanggung jawab untuk melakukan yang terbaik. Pengajar yang efektif dalam model pembelajaran Cooperative Learning membuat persiapan dan menyusun tugas sedemikian rupa sehingga masing-masing anggota kelompok harus melaksanakan tanggung jawabnya sendiri agar tugas selanjutnya dalam kelompok bisa dilaksanakan.
c.          Tatap muka.
Dalam pembelajaran Cooperative Learning setiap kelompok harus diberikan kesempatan untuk bertatap muka dan berdiskusi. Kegiatan ini akan memberikan para pembelajar untuk membentuk sinergi yang menguntungkan semua anggota. Inti dari sinergi ini adalah menghargai perbedaan, memanfaatkan kelebihan, dan mengisi kekurangan.
d.         Komunikasi antar anggota
Unsur ini menghendaki agar para pembelajar dibekali dengan berbagai keterampilan berkomunikasi, karena keberhasilan suatu kelompok juga bergantung kepada kesediaan para anggotanya untuk saling mendengarkan dan kemampuan mereka untuk mengutarakan pendapat mereka. Proses ini merupakan proses yang sangat bermanfaat dan perlu ditempuh untuk memperkaya pengalaman belajar dan pembinaan perkembangan mental dan emosional para siswa.
e.          Evaluasi proses kelompok
Pengajar perlu menjadwalkan waktu khusus bagi kelompok untuk mengevaluasi proses kerja kelompok dan hasil kerja sama mereka agar selanjutnya bisa bekerja sama dengan lebih efektif.
Jadi berdasarkan pendapat ahli diatas, model pembelajaran kooperatif learning tidak sama dengan sekedar belajar kelompok , tetapi ada unsur-unsur dasar yang membedakannya dengan pembagian kelompok yang dilakukan asal-asalan yaitu:
a.          Saling ketergantungan positif.
b.         Tanggung jawab perseorangan
c.          Tatap muka.
d.         Komunikasi antar anggota
e.          Evaluasi proses kelompok
Selanjutnya menurut Erman Suherman, ada beberapa hal yang perlu dipenuhi dalam kooperative learning agar lebih menjamin para siswa bekerja secara kooperatif, diantaranya:
a.       Para siswa yang tergabung dalam kelompok harus merasa bahwa mereka dalah bagian dari sebuah tim dan mempunyai tujuan bersama yang harus dicapai.
b.      Para siswa yang tergabung dalam sebuah kelompok harus menyadari bahwa masalah yang mereka hadapi adalah masalah kelompok dan bahwa berhasil atau tidaknya kelompok itu akan menjadi tanggung jawab bersama oleh seluruh anggota kelompok itu.
c.       Untuk mencapai hasil yang maksimum, para siswa yang tergabung dalam kelompok itu harus berbicara satu sama lain dalam mendiskusikan masalah yang dihadapinya.[10]

     Dengan demikian dapat disimpulkan pembelajaran kooperatif ialah pola belajar kelompok dengan cara kerjasama antar siswa dapat mendorong timbulnya gagasan yang lebih bermutu dan meningkatkan kreativitas siswa.
Ketergantungan timbal balik dapat memotivasi mereka untuk dapat bekerja lebih keras untuk keberhasilan mereka, hubungan kooperatif juga mendorong siswa untuk menghargai gagasan temannya.[11]
Adapun Fase-fase Pembelajaran Kooperatif adalah:
Fase pertama : Guru menyampaikan tujuan dan memotivasi siswa
Guru menyampaikan semua tujuan pembelajaran yang ingin dicapai pada pelajaran tersebut dan memotivasi belajar siswa.
Fase Kedua :Menyampaikan Informasi
Guru menyajikan informasi kepada siswa dengan jalan demonstasi atau lewat bahan bacaan.
Fase Ketiga :Mengorganisasikan siswa kedalam kelompok 
Guru menjelaskan kepada siswa bagaimana caranya membentuk kelompok belajar dan membantu setiap kelompok agar melakukan transisi secara efisien.
Fase Keempat : membimbing kelompok kerja dan belajar
Guru membimbing kelompok-kelompok belajar pada saat mereka mengerjakan tugas mereka.
Fase Kelima: Evaluasi
Guru mengevaluasi hasil belajar tentang materi yang telah dipelajari atau masing-masing kelompok mempresntasikan hasil kerjanya.
Fase Keenam: Memberikan Penghargaan
Guru mencari cara-cara untuk menghargai baik upaya maupun hasil belajar individu dan kelompok.[12]
Adapun ciri-ciri pembelajaran kooperatif adalah:
a.       Untuk menuntaskan materi belajarnya, siswa belajar dalam kelompok secara bekerja sama
b.      Kelompok di bentuk dari siswa yang memiliki kemampuan tinggi, sedang dan rendah
c.       Jika dalam kelas terdapat siswa-siswa yang heterogen ras, suku, budaya dan jenis kelamin, maka diupayakan agar tiap kelompok terdapat keheterogenen tersebut
d.      Penghargaan lebih diutamakan pada kerja kelompok daripada perorangan.
Jadi, berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan, pembelajaran kooperatif mencerminkan pandangan bahwa manusia belajar dari pengalaman mereka, dan berpartisipasi aktif dalam kelompok kecil membantu siswa belajar keterampilam sosial, mengembangkan sikap demokrasi dan keterampilan berfikir logis.
3.      Pembelajaran yang kreatif
Pembelajaran yang kreatif juga sebagai salah satu strategi yang mendorong siswa untuk lebih bebas mempelajari makna yang dia pelajari. Pembelajaran yang kreatif juga sangat penting dalam rangka pembentukan generasi yang kreatif, yang mampu menghasilkan sesuatu untuk kepentingan dirinya dan orang lain. Kreatif juga dimaksudkan agar guru menciptakan kegiatan belajar yang beragam sehingga memenuhi berbagai tingkat kemampuan siswa.
Pembelajaran kreatif adalah salah satu strategi pembelajaran yang bertujuan untuk mengembangkan kemampuan berpikir siswa. Pembelajaran kreatif ini pada dasarnya mengembangkan belahan otak kanan anak yang dalam teori Hemosfir disebutkan bahwa belahan otak anak terdiri dari belahan kiri dan belahan kanan. Belahan kiri sifatnya konvergen dengan cirri utamanya berpikir linier dan teratur, sementara belahan otak kanan sifatnya difergen dengan cirri utamanya berpikir konstruktif, kreatif, dan holistik.[13]

Hasil penelitian para pakar psikologi pendidikan dan ahli-ahli instruksional menemukan bahwa belahan otak kanan anak belum banyak dilibatkan dalam proses pembelajaran. Kurikulum pendidikan di Indonesia belum menyentuh bagaimana mnggali potensi siswa dalam pembelajaran. Pembelajaran banyak bersifat konstruktif dengan menekankan pada garapan domain kognitif.
Hal ini bisa terlihat dari sistem pendidikan kita yang masih lebih banyak mengandalkan hafalan dan ukuran keberhasilan siswa ditentukan oleh bagaimana kemampuan siswa menuliskan jawaban atau memilih pilihan jawaban secara objektif dari masalah yang dihadapkan kepada siswa. Sementara domain menciptakan sesuatu setelah belajar belum menjadi tujuan pembelajaran kita. Akibatnya lulusan sekolah kita masih kaya dengan teori, sementara pasar kerja menghendaki sumber daya yang mampu melahirkan sesuatu sebagai bagian dari penguasaan pendidikan.
Dengan demikian pembelajaran yang kreatif menghendaki guru harus kreatif dan siswa dapat mengembangkan kreativitasnya.
Kretivitas adalah kemampuan untuk membuat atau menciptakan hal-hal baru atau kombinasi baru berdasarkan data, informasi, dan unsure-unsur yang ada. Memiliki kemampuan berpikir tingkat tinggi dan menghasilkan karya cipta yang diperoleh melalui pengetahuan atau pengalaman hidup serta mampu memunculkan ide-ide kreatif yang inovatif. Di sinilah esensi pembelajaran yang kreatif perlu dikembangkan dalam proses pembelajaran di Indonesia.
4.      Model Auditory, Intellectually, Repetition (AIR)
Model pembelajaran AIR adalah model yang menekankan pada tiga aspek, yaitu Auditory, Intelectually and Repetition. Auditory yaitu belajar dengan mendengar, Intelectually yaitu belajar dengan berpikir dan memecahkan masalah, Repetition yaitu pengulangan agar melajar lebih efektif
Menurut Suherman,
 AIR adalah singkatan dari Auditory, Intelectually and Repetition. Pembelajaran seperti ini menganggap bahwa akan efektif apabila memperhatikan tiga hal tersebut. Auditory yang berarti bahwa indera telinga digunakan dalam belajar dengan cara mendengarkan, menyimak, berbicara, persentasi, argumentasi, mengemukakan pendapat dan menanggapi. Intectual berpikir yang berarti bahwa kemampuan berpikir perlu dilatih melalui latihan bernalar, mencipta, memecahkan masalah, mengkonstruksi dan menerapkan. Repetition yang berarti pengulangan, agar pemahaman lebih mendalam dan lebih luas, siswa perlu dilatih melalui pengerjaan soal, pemberian tugas atau kuis

a.      Auditory
 Auditory berarti indera telinga digunakan dalam belajar dengan cara menyimak, berbicara, persentasi, argumentasi, mengemukakan pendapat, dan menanggapi. Sarbana (Yulia, 2008:24) mengartikan auditory sebagai salah satu modalitas belajar, yaitu bagaimana kita menyerap informasi saat berkomunikasi ataupun belajar dengan cara mendengarkan, indera telinga digunakan dalam belajar dengan cara mendengarkan, menyimak, berbicara, presentasi, argumentasi, mengemukakan pendapat dan menanggapi.
Dalam KBM, sebagian besar proses interaksi siswa dengan siswa dilakukan dengan komunikasi yang melibatkan indera telinga. Menurut Tiel masuknya informasi melalui auditory bentuknya haruslah berurutan, teratur dan membutuhkan konsentrasi yang baik agar informasi yang masuk ditangkap dengan baik yang kemudian akan diproses dalam otak.
Mendengar merupakan salah satu aktivitas belajar, karena tidak mungkin informasi yang disampaikan secara lisan oleh guru dapat diterima dengan baik oleh siswa jika tidak melibatkan indera telinganya untuk mendengar. Guru diharapkan bisa memberikan bimbingan pada siswa agar pemanfaatan indera telinga dalam KBM dapat berkembang secara optimal sehinga interkoneksi antara telinga dan otak bisa dimanfaatkan secara maksimal.
Menurut Meier ada beberapa gagasan untuk meningkatkan pengguna sarana auditory dalam belajar :
1.         Mintalah pembelajar berpasang-pasangan membincangkan secara terperinci apa saja yang baru mereka pelajari dan bagaimana mereka akan menerapkannya.
2.         Mintalah pembelajar mempraktikkan suatu keterampilan atau memperagakan suatu fungsi sambil mengucapkan secara sangat terperinci apa yang sedang mereka kerjakan
3.         Mintalah pembelajar berkelompok dan berbicara nonstop saaat sedang menyusun pemecahan masalah atau membuat rencana jangka panjang

b.      Intelectually
Intellectually berarti belajar dengan berpikir untuk menyelesaikan masalah. Kemampuan berpikir perlu dilatih melalui latihan bernalar, mencipta memecahkan masalah, mengkonstruksi dan menerapkan.
Meier mengemukakan :
 Aspek dalam intelektual dalam belajar akan terlatih jika siswa dilibatkan dalam aktivitas memecahkan masalah, menganalisa pengalaman, mengerjakan perencanaan strategis, melukiskan gagasan kreatif dan menyaring informasi, menemukan pertanyaan, menciptakan modal mental, menerapkan gagasan baru, menciptakan makna pribadi dan meramalkan implikasi suatu gagasan baru sehingga guru mampu merangsang, mengarahkan dan meningkatkan intensitas proses berpikir siswa demi tercapainya kemampuan pemahaman yang maksimal dari siswa.

c.       Repetition
Morisin berpendapat bahwa hasil belajar yang merupakan perubahan sungguh-sungguh dalam perilaku dan pribadi seseorang bersifat permanen. Dalam proses belajar, ada sejumlah informasi atau materi pelajaran yang diharapkan tersimpan didalam memori otak. Pada kenyatannya, hal-hal yang telah dipelajari sulit sekali dimunculkan bahkan tidak dapat direproduksikan lagi dari daya ingat kita. Peristiwa inilah yang disebut lupa.
Pengulangan tidak berarti dilakukan dengan bentuk pertanyaan atau informasi yang sama, melainkan dalam bentuk informasi yang dimodifikasi. Dalam memberi pengulangan, agar pemahaman siswa lebih mendalam dan lebih luas guru dapat memberikan soal, tugas atau kuis. Dengan diberikan soal dan tugas, siswa akan terbiasa menyelesaikan persoalan-persoalan matematika. Sedangkan dengan pemberian kuis siswa akan senantiasa siap dalam menghadapi tes ujian.
Proses mempertahankan informasi ini dapat dilakukan dengan adanya kegiatan pengulangan informasi yang masuk dalam otak. Dengan adanya latihan dan pengulangan akan membantu dalam proses mengingat, karena semakin lama informasi tersebut tinggal dalam memori jangka pendek, maka akan semakin besar kesempatan memori tersebut ditransfer ke memori jangka panjang. Hal ini sejalan dengan teori Ausubel mengenai pentingnya pengulangan, Suherman dan Winataputra menjelaskan, “Pengulangan yang akan memberikan dampak positif adalah pengulangan yang tidak membosankan dan disajikan dengan cara yang menarik”. Menarik disini bisa dalam bentuk informasi yang bervariatif. Dengan pemberian soal, tugas, atau kuis. Siswa akan mengingat informasi- informasi yang diterimanya dan terbiasa untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan matematika.[14]
Langkah-langkah pembelajaran AIR menurut Meirawati yaitu:
Tahap Auditory
Kegiatan guru:
1.      Guru membagi siswa menjadi beberapa kelompok kecil.
2.      Guru memberi LKS kepada siswa untuk dikerjakan secara kelompok.
3.   Guru memberi kesempatan kepada siswa untuk bertanya mengenai soal LKS yang kurang dipahami.
Kegiatan Siswa
1.      Siswa menuju kelompoknya masing-masing yang telah dibentuk oleh guru.
2.  Siswa menerima LKS yang diberikan oleh guru untuk dikerjakan secara kelompok.
3.      Siswa bertanya mengenai soal LKS yang kurang dipahami kepada guru.
Tahap Intelectually
Kegiatan Guru :
4.     Guru membimbing kelompok belajar siswa untuk berdiskusi dengan rekan dalam satu kelompok sehingga dapat menyelesaikan LKS.
5.    Guru memberi kesempatan kepada beberapa kelompok untuk mempresentasikan hasil kerjanya.
6. Guru memberikan kesempatan kepada kelompok lain untuk bertanya dan mengemukakan pendapatnya.
Kegiatan siswa :
4.  Siswa mengerjakan soal LKS secara berkelompok dengan mencermati contoh-contoh soal yang telah diberikan
5.   Siswa mempresentasikan hasil kerjanya secara berkelompok yang telah selesai mereka kerjakan.
6.    Siswa dari kelompok lain bertanya dan mengungkapkan pendapatnya, sedangkan kelompok lain yang mempresentasikan menjawab dan mempertahankan hasil kerjanya.
 Tahap Repetition
Kegiatan guru :
7.      Memberikan latihan soal individu kepada siswa
8.      Dengan diarahkan guru, siswa membuat kesimpulan secara lisan tentang materi yang telah dibahas.
Kegiatan siswa :
7.      Siswa mengerjakan soal latihan yang diberikan oleh guru secara individu
8.      Siswa menyimpulkan secara lisan tentang materi yang telah dibahas.
Model pembelajaran ini mirip dengan SAVI dan VAK, bedanya hanyalah pada Repetisi yaitu pengulangan yang bermakna pendalaman, perluasan, pemantapan dengan cara siswa dilatih melalui pemberian tugas atau kuis.[15]
5.      Pembentukan Kelompok
Dalam pembelajaran Auditory, Intelectually, Repetition (AIR), siswa dapat saling bekerja sama dalam kelompok kecil, saling berdiskusi dan bertukar pikiran untuk mengkontruksi pengetahuannya. Kelompok tersebut terdiri dari 4 sampai 5 orang.
Menurut E. Mulyasa diskusi kelompok kecil memiliki karakteristik sebagai berikut :
a.       Melibatkan sekitar 3 samapi 5 orang peserta dalam setiap kelompok.
b. Berlangsung secara informal, sehingga setiap anggota dapat saling berkomunikasi langsung dengan anggota lain.
c.       Memiliki tujuan yang dicapai dengan kerja sama antar anggota kelompok.
d.      Berlangsung secara sistematis.
Lebih lanjut E. Mulyasa menjelaskan melalui kelompok kecil dalam pembelajaran memungkinkan peserta didik:
a.       Berbagi informasi dan pengalaman dalam pemecahan suatu masalah.
b. Meningkatkan pemahaman terhadap masalah yang penting dalam pembelajaran
c.       Meningkatkan keterlibatan dalam perencanaan dan penganbilan keputusan
d.      Mengembangkan kemampuan berfikir dan berkomunikasi
e.  Membina kerjasama yang sehat dalam kelompok yang kohesif dan bertanggung jawab.[16]
Dalam penelitian ini, siswa dibagi dalam kelompok yang terdiri dari 4 sampai 5 orang dengan kemampuan akademik yang heterogen. Didalam setiap kelompok terdiri dari satu orang siswa yang berkemampuan tinggi, dua atau tiga orang siswa yang berkemampuan sedang, dan siswa yang lain yang berkemampuan rendah.
 Anita lie mengemukakan bahwa terdapat tiga keuntungan dari pembentukan kelompok yang heterogen berdasarkan kemampuan akademis, yaitu:
a.       Memberikan kesempatan untuk saling mengajar (peer tutoring)  dan saling mendukung.
b.      Meningkatkan relasi dan interaksi antar ras, etnik, dan gender.
c.  Memudahkan pengelolaan kelas karena dengan adanya satu orang yang berkemampuan akademis tinggi, guru mendapat satu asisten untuk setiap tiga orang.[17]
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran kooperatif dapat meningkatkan kemampuan aktivitas siswa untuk bersosialisasi serta siswa mempunyai kesempatan untuk saling menghargai perbedaan pendapat dalam kelompok
 
       
Tabel 1: Prosedur Pengelompokan Heterogenitas Berdasarkan Kemampuan Akademik
Langkah I
Mengurutkan
Siswa berdasarkan kemampuan
Langkah II
Membentuk kelompok pertama
Langkah III membentuk kelompok selanjutnya
1.      AN
2.      NP
3.       
4.       
5.       
6.       
7.       
8.       
9.       
10.   
11.  DW
12.  MR
13.  JL
14.  GW
15.   
16.   
17.   
18.   
19.   
20.   
21.   
22.   
23.   
24.  RP
25.  AF
1.      AN
2.      NP
3.       
4.       
5.                 MR         AN
6.     








 
7.       

8.             AF             JL
9.     







 
10.   

11.  DW
12.  MR
13.  JL
14.  GW
15.  S
16.   
17.   
18.   
19.   
20.   
21.   
22.   
23.   
24.  RP
25.  AF
1.      AN
2.      NP
3.       
4.       
5.       
6.                 DW       NP
7.     


 
8.       

9.             RP           GW
10.   
11.  DW
12.  MR
13.  JL
14.  GW
15.   
16.   
17.   
18.   
19.   
20.   
21.   
22.   
23.   
24.  RP
25.  AF
Sumber : (Anita Lie, 2002 : 41)
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran kooperatif dapat meningkatkan kemampuan aktivitas siswa untuk bersosialisasi serta siswa mempunyai kesempatan untuk saling menghargai perbedaan pendapat dalam kelompok.
Dengan demikian, pembentukan kelompok heterogen berdasarkan kemampuan akademis cukup efektif dalam pelaksanaan proses pembelajaran kelompok dalam kelompok kecil.
6.      Pembelajaran Konvensional
Pembelajaran konvensional adalah suatu pengajaran yang mana dalam proses belajar masih menggunakan cara lama. Guru memegang peranan penting dalam menentukan urutan langkah dalamm menyampaikan materi kepada siswa. Sedangkan peranan siswa adalah mendengarkan secara teliti dan mencatat pokok-pokok yang penting yang dikemukakan oleh guru. Pembelajaran konvensional masih didasarkan atas asumsi bahwa pngetahuan dapat dipindahkan secara utuh dari pikiran guru ke pikiran siswa.
Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan pembelajaran matematika secara konvensional adalah suatu kegiatan belajar mengajar yang lebih didominasi oleh guru dimana guru mengajar secara klasikal dengan metode ekspositori dan siswa hanya menerima apa yang disampaikan oleh guru, kesempatan siswa untuk membangun pemahaman konsep sangat kurang sehingga siswa menjadi pasif dalam belajar.
7.      Aktivitas
Prinsip belajar pada dasarnya adalah melakukan aktivitas, setiap orang yang belajar harus aktif, tanpa adanya aktivitas maka proses belajar tidak mungkin terjadi.
 Sardiman menjelaskan bahwa pada prinsipnya belajar adalah berbuat. Berbuat untuk mengubah tingkah laku jadi melakukan kegiatan. Tidak ada belajar kalau tidak ada aktivitas. Itulah sebabnya aktivitas merupakan prinsip atau dasar yang sangat penting di dalam interaksi belajar mengajar. Dalam hal kegiatan belajar ini, Rousseau memberikan penjelasan bahwa segala pengetahuan itu harus diperoleh denganpengamatan sendiri, pengalaman sendiri,penyelidikan sendiri, dan bekerja sendiri dengan fasilitas yang diciptakan sendiri, baik secara rohani maupun teknis. Ini menunjukkan stiap orang yang belajar harus aktif sendiri.tanpa ada aktivitas, proses belajar tidak mungkin terjadi.[18]

Aktivitas merupakan hal yang paling penting dalam belajar matematika. Aktivitas belajar matematika yang dimaksud adalah aktivitas yang dilakukan siswa secara individu atau berkelompok untuk menyelesaikan permasalah matematika atau untuk menemukan konsep matematika.
8.      Kemampuan guru dalam melaksanakan pembelajaran
Tugas guru dalam profesinya adalah sebagai pendidik dan pengajar. Guru harus mampu menciptakan suasana dan situasi yang dapat diterima dalam belajar, dengan demikian guru perlu memberikan dorongan dan motivasi kepada siswa agar siswa bisa aktif dalam belajar dan mengikuti proses pembelajaran dengan maksimal.
Kompetensi yang harus dimiliki oleh guru dapat mencakup kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional.
Kompetensi pedagogik berkaitan dengan memahami peserta didik secara mendalam merancang dan melaksanakan evaluasi. Kompetensi sosial berkaitan dengan kemampuan berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik, pendidik dan tenaga kependidikan, orang tua/wali peserta didik dan masyarakat sekitar.[19]

Kompetensi kepribadian berkaitan dengan mengembangkan kepribadian, berinteraksi dan berkomunikasi, melaksanakan bimbingan dan penyuluhan, melaksanakan administrasi sekolah, melaksanakan penelitian sederhana untuk keperluan pengajaran. Kompetensi professional berkaitan dengan menguasai landasan kependidikan, menilai proses belajar mengajar yang dilaksanakan, menguasai bahan pelajaran.[20] 

Hal serupa dikemukakan oleh Sardiman, terdapat sepuluh kompetensi guru, yaitu :
1.            Menguasai bahan
2.            Mengelola program belajar mengajar
3.            Mengelola kelas
4.            Menggunakan media/sumber
5.            Menguasai landasan-landasan kepribadian
6.            Mengelola interaksi belajar mengajar
7.            Menilai prestasi belajar untuk kepentingan pengajaran
8.            Mengenal fungsi dan program bimbingan dan penyuluhan di sekolah
9.            Mengenal dan menyelenggarakan administrasi sekolah
10.        Memahami prinsip-prinsip dan menafsirkan hasil penelitian pendidikan guna keperluan pengajaran.[21]

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa melaksanakan proses pembelajaran merupakan pola interaksi antara guru dengan siswa dengan kata lain guru dan siswa merupakan subjek karena masing-masing memiliki kesadaran dan kebebasan secara aktif. Menyadari pola interaksi tersebut akan memungkinkan keterlibatan mental siswa secara optimal dalam mereka[22]
Di dalam penelitian ini, kemampuan guru yang diamati selama proses pembelajaran adalah :
a.       Memotivasi siswa belajar
b.      Meninngkatkan kreativitas siswa dalam belajar
c. Menyajikan bahan pelajaran dengan metode yang relevan dengan tujuan pembelajaran.
d.      Melakukan proses pembelajaran yang baik
e.       Membimbing siswa dalam mengkonstruksi pengetahuannya
f.       Melaksanakan penilaian hasil belajar
9.      Kemampuan Penalaran
Penalaran merupakan terjemahan dari reasoning yang didefinisikan sebagai proses berpikir yang dilakukan dengan suatu cara untuk menarik kesimpulan. Penalaran yang diungkapkan menurut Sostrosudiro, Sukherman dan Winataputra adalah proses berpikir yang dilakukan dengan suatu cara untuk menarik kesimpulan. Senada dengan itu Abidin menyatakan bahwa penalaran (reasoning) merupakan suatu konsep yang menunjuk pada salah satu proses berpikir untuk sampai kepada suatu kesimpulan sebagai pernyataan baru dari beberapa pernyataan lain yang telah diketahui.
Berdasarkan pemaparan di atas penalaran adalah suatu proses berpikir tingkat tinggi dalam mengembangkan pikiran dan beberapa fakta atau prinsip matematika, dengan kemampuan pemecahan masalah, kemampuan untuk menarik kesimpulan suatu pernyataan dan melihat hubungan implikasi dan ide-ide.
Kemampuan penalaran matematik sangat penting bagi siswa karena berperan dalam melatih siswa dalam berpikir kritis dan logis, menutun siswa untuk mengumpulkan bukti, membuat konjektur, menetapkan generalisasi, membangun argumen, menentukan kesimpulan, menuntun siswa untuk dapat menganalisis, mensintesis atau mengintegrasikan, menyelesaikan masalah tidak rutin atau membuktikan Untuk memahami secara mendalam tentang penalaran, kita harus mengetahui indikator dari penalaran itu seperti apa. Ros mengungkapkan beberapa indikator dari penalaran yaitu:
 (1) memberikan alasan mengapa sebuah jawaban atau pendekatan suatu masalah adalah masuk akal, (2) menggunakan data yang mendukung untuk menjelaskan mengapa cara yang digunakan serta jawabannya adalah benar, (3) membuat dan mengevaluasi kesimpulan umum berdasarkan atas penyelidikan dan penelitian, (4) meramalkan atau menggambarkan kesimpulan atau putusan dari informasi yang sesuai, (5) mempertimbangkan validitas dari argumen dengan menggunakan berpikir induktif dan deduktif, (6) menganalisis pernyataan-pernyataan dan memberikan contoh-contoh yang mendukung atau yang bertolak belakang.

Departemen Pendidikan Nasional dalam Peraturan Dirjen Dikdasmen No.506/C/PP/2004 sebagaimana yang dikutip oleh Fadjar Shadiq memberikan cakupan aktivitas penalaran yang lebih luas sekaligus melengkapi penjelasan cakupan kemampuan penalaran matematis dalam Math Glossary sebagai berikut :
a.         Menyajikan pernyataan matematika secara lisan, tertulis, gambar, dan diagram. 
     b.     Mengajukan dugaan (conjectures)
     c.         Melakukan manipulasi matematika
   d.    Menarik kesimpulan, menyusun bukti, memberikan alasan atau bukti terhadap  beberapa solusi
     e.         Menarik kesimpulan dari pernyataan
     f.         Memeriksa kesahihan suatu argumen
g.        Menemukan pola atau sifat dari gejala matematis untuk  membuat generalisasi.

Menurut Sumarmo menyebutkan penalaran matematis meliputi:
 1) menarik kesimpulan, 2) memberikan penjelasan dengan menggunakan model, 3)memperkirakan jawaban dan proses solusi, 4)menggunakan pola dan hubungan untuk menganalisis situasi matematik, 5) menyusun dan menguji konjektur, 6) merumuskan lawan contoh, 7) mengikuti aturan inferensi, memeriksa validitas argument, 8) menyusun argument yang valid, 9) menyusun pembuktian langsung, tak langsung dengan menggunkan induksi matematika.
Senada dengan itu Sumarmo mengungkapkan bahwa  pembelajaran matematika yang mendukung kemampuan penalaran adalah mengutamakan pada pengembangan daya matematika (mathematical power) siswa yang meliputi menggali, bernalar secara logis, menyelesaikan soal tidak rutin, menyelesaikan masalah, komunikasi matematika dan mengaitkan ide-ide matematika dengan kegiatan intelektual lainnya.
 Sedangkan, berdasarkan TIMMS Subagja komponen yang di ukur untuk penalaran matematika tersebut di atas terdiri dari: menyusun hipotesis atau konjektur atau prediksi, menggeneralisasi, menghubungkan, mensintesis atau mengintegrasikan, menyelesaikan masalah tidak rutin dan menjustifikasikan atau membuktikan.
Adapun yang menjadi indikator dari komponen-komponen itu menurut TIMMS Subagja adalah:
1.      Konjektur
Membuat konjektur yang tepat ketika menginvestigasi pola-pola, mendiskusikan ide-ide, mengusulkan model-model menguji sekumpulan data, menentukan keluaran (bilangan, pola, jumlah, transformasi, dsb.) sebagai hasil dari suatu operasi atau percobaan sebelum keluaran itu terbentuk.
2.      Analisis
Menentukan dan menjelaskan atau menggunakan relasi antar variabel atau objek dalam situasi secara matematik, dan membuat referensi yang valid dari informasi yang diberikan.
3.      Evaluasi
Mendiskusikan dan mengkritisi ide-ide matematik, konjektur, strategi, pemecahan masalah, metode dan pembuktian.
4.      Generalisasi
Memperluas domain yang dihasilkan dari pemikiran matematika dan pemecahan masalah  yang dapat diaplikasikan dengan menyatakan kembali hasil-hasil yang lebih umum dan dapat diaplikasikan.
5.      Koneksi
Menghubungkan pengetahuan yang baru dengan pengetahuan yang sudah ada, membuat hubungan antara elemen-elemen pengetahuan yang berbeda dan refresentasinya, membuat pertalian antara ide-ide matematika dan objek-objek.
6.      Sintesis
Mengkombinasikan prosedur matematika agar hasilnya lebih lengkap, mengkombinasikan hasil yang lebih lengkap tersebut untuk keperluan berikutnya.
7.      Menyelesaikan masalah tidak rutin
Menyelesaikan sekumpulan permasalahan matematik dalam konteks matematik murni atau kehidupan nyata yang permasalahan tidak dikenal siswa, dan mengaplikasikan prosedur matematik dalam konteks yang dikenalnya.
8.      Pembuktian
Menbuktikan bukti untuk memvalidasi langkah atau pernyataan dengan referensi hasil-hasil atau sifat-sifat matematik, membangun argumen matematik atau membuktikan atau menyangkal pernyataan, memberikan informasi yang relevan.

Berdasarkan beberapa definisi mengenai kemampuan penalaran matematis di atas maka peneliti menetapkan definisi kemampuan penalaran matematis pada penelitian ini sebagai kemampuan siswa untuk merumuskan kesimpulan atau pernyataan baru berdasarkan pada beberapa pernyataan yang kebenarannya telah dibuktikan atau diasumsikan sebelumnya, adapun indikator yang akan diteliti adalah sebagai berikut, 1) Memberi penjelasan dengan menggunakan model
2)  Menyusun dan menguji konjektur.
10.  Hasil Belajar
Hasil belajar dapat dilihat dari perubahan tingkah laku siswa setelah terjadi proses belajar mengajar. Perubahan tersebut dapat dalam bentuk perubahan terhadap ilmu pengetahuan, sikap, ketermpilan dan sebagainya. Siswa yang berhsil belajar adalah siswa yang memperoleh prestasi yang baik sesuai dengan indicator yang ditetapkan oleh guru sebelum proses belajar mengajar berlangsung.
Hasil belajar adalah pola-pola perbuatan, nilai-nilai, pengertian-pengertian, sikap-sikap, apresiasi dan keterampilan.[23]
Kemudian Nana Sudjana menjelaskan bahwa hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan yang memiliki siswa setelah ia menerima pengalaman belajarnya. Howard Kingsley membagi tiga macam hasil belajar, yakni :
a.       Keterampilan dan kebiasaan
b.      Pengetahuan dan pengertian
c.       Sikap dan cita-cita.[24]
Menurut Bloom, hasil belajar mencakup kemmpuan kognitif, afektif dan psikomotorik. Domain kognitif adalah knowledge (pengetahuan, ingatan), comprehensif (pemahaman, menjelaskan, meringkas, contoh), application (menerapkan),  analysis menguraikan, menentukan hubungan), synthesis (mengorganisasikan, mrencanakan, membentukan bangunan baru), evalution (menilai). Domain afektif adalah receiving sikap menerima), responding (memberikan respon), valuing (nilai), organization (organisasi), characterization (karakterisasi). Domain psikomotor meliputi initiatory, pre-routine, dan rountinized. Psikomotor juga mencakup ,eterampilan produktif, teknik, fisik, sosial, manajerial, dan intelektual.[25]

Dari pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa hasil belajar yang diharapkan adalah hasil belajar kognitif, afektif, dan psikomotor. Hasil belajar yang diteliti adalah hasil belajar kognitif dari segi kemampuan akademis yang diukur dengan hasil tes belajar.
B.        Kerangka Konseptual
Perubahan yang terjadi di bidang pendidikan membawa pengeruh terhadap segala aspek pembelajaran, termasuk dalam pembelajaran matematika. Pembelajaran di kelas lebih dituntut mengaktifkan siswa dan guru hanya befungsi sebagai fasilitator dan motivator.
Kerangka Konseptual
C.       Hipotesis
Berdasarkan permasalahan dan kajian teori diatas maka hipotesis dalam penelitian ini adalah “ Hasil belajar matematika siswa yang menggunakan model pembelajaran Auditory, Intellectually, Repetition (AIR) lebih baik daripada hasil belajar matematika siswa yang menggunkan pembelajaran konvensional di kelas VIII MTsN 2 Bukittinggi.”


[1] Hamzah B. Uno dan Nurdin Mohamad, Belajar dengan Pendekatan Pembelajaran Aktif Inovtif Lingkungan Kreatif Efekif Menarik, (Jakarta : Bumi Aksara, 2011), h. 138
[2] Hamzah B. Uno dan Nurdin Mohamad,…, h. 138

[3] Slameto, Belajar dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya, (Jakarta : PT Rineka Cipta, 1995), h. 2
[4] Erman Suherman, …, h.8 
[5] Dimyati dan Mudjiono, Belajar dan Pembelajaran, ( Jakarta : Rineka Cipta, 2002), h. 156
[6] Erman Suherman, …, h. 9
[7] Dimyati dan Mudjiono, …, h. 157
[8] Erman Suherman, …, h. 18
[9] Robert E. Slavin, Cooperative Learning Teori, Riset dan Praktek, (Bandung: Nusa Media, 2009), h. 4
[10] Erman suherman,..., h. 218
[13] Hamzah B. Uno dan Nurdin Mohamad,…, h. 12
[16] E. Mulyasa, Menjadi Guru Profesional Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan Menyenangkan, ( Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2009), h. 89
[17] Anita Lie, Cooperative Learning di Ruang-ruang Kelas, (Jakarta: Grasindo, 2002), h. 42
[18] Sardiman, Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, ( Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1986), h. 95
[19] Dasim Budiansyah, Pembelajaran Aktif Kreatif Efektif dan Menyenangkan, (Bandung : PT Genesindo, 2008)
[20] Moh. Uzer Usman, Menjadi Guru Profesional, (Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2008), h. 16
[21] Sardiman, …, h. 163
[22] Erman Suherman, …, h. 8
[23] Agus Suprijono, Cooperative Learning Teori dan Aplikasi PAIKEM, (Surabaya: Pustaka Belajar, 2009), h. 89

[24]Nana Sudjana, Penilaian Hasil Proses Belajar  Mengajar, (Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 1999), h. 22 
[25]Agus Suprijono, …, h. 7
 
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A.    Jenis Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah dan tujuan yang akan dicapai dalam penelitian, maka jenis penelitian yang dipakai adalah penelitian eksperimen. Tujuan penelitian eksperimen adalah untuk menyelidiki kemungkinan saling sebab akibat dengan cara mengenakan kepada satu atau lebih kelompok eksperimental satu atau lebih kelompok kontrol yang tidak dikenai kondisi perlakuan.[1]
B.     Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah The Static Group Comparison: Randomized Control Group Only Desain, yang digambarkan oleh Sumadi Suryabrata sebagai berikut:

Tabel 1: Rancangan Penelitian
Group
Treatment
Post Test
Eksperimen
X
T
Control
-
T
Sumber : Suryabrata (2004 : 104)
Keterangan:
X : Perlakuan berupa pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran Auditory, Intelectually  And  Repetition (Air).
Y   :    Tes akhir setelah diberi perlakuan.[2]
C.    Populasi dan Sampel
1.      Populasi
Populasi adalah seluruh data yang menjadi perhatian kita dalam suatu ruang lingkup dan waktu yang kita tentukan.[3] Populasi dalam penelitian ini adalah siswa kelas VIII-4 dan VIII-5 MTsN 2 Bukittinggi yang terdaftar pada tahun 2012/2013. Rincian anggota populasi tersebut dapat dilihat dalam tabel berikut :
Tabel 2: Jumlah Siswa Kelas VIII MTsN 2 Bukittinggi Tahun Pelajaran 2011/2012
No
kelas
Jumlah siswa
1
VIII-4
30
2
VIII-5
35
Sumber : Guru Mata Pelajaran Matematika kelas VIII MTsN 2 Bukittinggi
2.      Sampel
Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut.[4] Suharsimi Arikunto menjelaskan sampel adalah sebagian atau wakil dari populasi yang diteliti.[5] Sampel yang dipilih dalam penelitian harus representatif yang menggambarkan keseluruhan karakteristik dari suatu populasi. Sesuai dengan masalah yang diteliti dan rancangan penelitian yang digunakan maka dibutuhkan dua kelas sebagai sampel yaitu kelas eksperimen dan kelas kontrol.
Di dalam penelitian terhadap sampel, ciri representativeness sampel itu tidak pernah dapat dibuktikan, melainkan hanya dapat didekati secara metodologis melalui parameter-parameter yang diketahui dan diakui dengan baik secara teoritis maupun secara eksperimental. Salah satu parameter yang bisa dianggap menentukan representativeness suatu sampel adalah kecermatan memasukkan ciri-ciri populasi. Makin lengkap ciri-ciri populasi yang dimasukkan ke dalam sampel, akan makin tinggi tingkat representatifnya sampel.[6]
Oleh karena itu diperlukan langkah-langkah sebagai berikut :
Langkah-langkah yang dilakukan :
a.       Mengumpulkan data nilai kuis matematika siswa kelas VIII MTsN 2 Bukittinggi tahun 2012/2013.
b.      Melakukan uji normalitas
Uji normalitas bertujuan untuk melihat apakah populasi berdistribusi normal atau tidak. Uji yang dilakukan adalah uji Anderson Darling, yang dilakukan dengan cara sebagai berikut :
1.         Membuat hipotesis yaitu :
H0 : Populasi berdistribusi normal
H1 : Populasi berdistribusi tidak normal.
2.         Uji statistik
A2 = - N-S
Diman S = ∑Ni = 1 (2i – 1)/N
Keterangan :
A = Anderson Darling
F = Fungsi distribusi komulatif dari distribusi khusus
Y1 = Data urutan ke-i
N = Banyak data
Pada penelitian ini, pengujian dilakukan dengan bantuan software minitab. Data berdistribusi normal apabila titik-titiknya mendekati garis lurus atau Pvalue > α = 0,05.
c.       Melakukan uji homogenesis
Uji homogenesis ini bertujuan untuk melihat apakah populasi mempunyai variansi yang homogeny atau tidak. Uji homogenesis dilakukan dengan uji Bartlett dengan lankah-langkah sebagai berikut :
1.         Membuat hipotasis, yaitu :
H0 : Populasi mempunyai variansi yang sama.
H1 : Populasi mempunyai variansi yang tidak sama.
2.         Melakukan uji homogenesis dengan menggunakan uji Bartlett, dengan beberapa langkah berikut :[7]
i.        Menghitung k buah ragam contoh S1, S2, … Sk dari contoh-contoh yang berukuran n1, n2, … nk :
ki = 1 ni = N
ii.      Menggabungkan semua ragam contoh sehingga menghasilkan nilai dugaan gabungan,
Sp2 = ( ∑ki (n1 – 1 ) s2 ) / (N – k )
iii.    Menghitung nilai peubah acak Bartlett, yaitu :
b ={ [(S12)n1-1 (S22)n2-1 … (Sk2)nk-1]1/(n – k ) } / Sp2
Khusus  n1 = n2 = nk = n, jika H0 ditolak pada taraf α bila b < bk (α ; n1, n2, …, nk ) atau sebaliknya bk (α ; n1, n2, …, nk ) = [n1bk (α ; n1) + n2bk (α ; n2) + … + nkbk (α ; nk)] / N
Pada penelitian ini homogenesis dihitung dengan bantuan software minitab. Data homogeny jika Pvalue > α = 0,05 dan tidak homogeny jika sebaliknya, atau apabila selang kepercayaan masing-masing kelompok beririsan.
d.      Melakukan uji kesamaan rata-rata dengan menggunakan analisis variansi
Uji ini menggunakan teknik Anava satu arah dengan langkah-langkah sebagai berikut :
1.      Membuat Hipotesis
H0 = µ1 = µ2 = µ3 = µ4
H1 = Sekurang-kurangnya dua nilai tengah tidak sama
2.      Tentukan taraf nyatanya (α)
3.      Tentukan wilayah kritik dengan menggunakan rumus :
f = fα [ k – 1, N – K]
4.      Tentukan perhitungan dengan tabel :
Tabel 3 : Data Hasil Belajar Siswa Kelas Populasi[8]

Populasi

1
2
3
k
X11
X12
X1n
X21
X22
X2n
X31
X32
X3n

Xk1
Xk2
Xkn


Total
T1

T2

T3

Tk

T

Nilai
Tengah
X1

X2

X3

Xk

X


Perhitungan dengan menggunakan rumus : ∑ik = 1 (Ti2 / N) – (T2 / N)
Jumlah Kuadrat Total (JKT) : ∑ik = 1∑jni = 1Xi,j2 – (T2 / N)
Jumlah Kuadrat untuk Nilai Tengah Kolom (JKK) : ∑ik = 1 (Ti2 / N) – (T2 / N)
Jumlah Kuadrat Galat (JKG) : JKT – JKK
Masukkan data hasil perhitungan ke tabel berikut :
Tabel 4 : Analisis Ragam Bagi Data Hasil Belajar Siswa Kelas Populasi[9]
Sumber Keragaman
Jumlah Kuadrat (JK)
derajat kebebasan (dk)
Kuadrat Tengah
f hitung

Nilai tengah kolom

Galat
JKK


JKG
k -1


N - K

S12 = JKK
         k -1

S22 = JKG
         N - K
Total
JKT
N - K



e.       Keputusannya
Terima H0 jika f < fα [k – 1, N – K]
Tolak H0 jika f > fα [k – 1, N – K]
f.       Setelah melakukan pengujian dengan langkah-langkah diatas, maka penentuan sampel dilakukan secara acak dengan cara membuat gulungan kertas sebanyak 2 buah dan diberi nomor urut 1 dan 2. Gulungan kertas yang terambil pertama ditetapkan sebagai kelas eksperimen dan selanjutnya kelas kontrol.
D.    Variabel Data dan Sumber Data
1.      Variabel
Variabel adalah sesuatu yang menjadi objek pengamatan dalam penelitian. Variabel dalam penelitian ini adalah :
a.          Variabel bebas
Merupakan variabel yang diperkirakan berpengaruh terhadap variabel lain. Dalam penelitian ini yang menjadi variable bebas adalah pembelajaran Auditory, Intelectually And  Repetition (Air).
b.         Variabel terikat  
Merupakan gejala yang muncul dari adanya perlakuan. Dalam penelitian ini yang menjdi variabel terikat adalah hasil belajar siswa setelah menggunakan model pembelajaran Auditory, Intelectually  And  Repetition (Air).
2.      Data
Jenis data dalam penelitian ini adalah :
a.       Data primer
Yaitu data yang diperoleh dari hasil perlakuan terhadap sampel penelitian, dalam hal ini adalah data hasil belajar siswa untuk menilai aspek kognitif dari segi akademis, aktivitas belajar siswa dan kemampuan guru menggunakan model pembelajaran Auditory, Intelectually  And  Repetition (Air).
b.      Data sekunder
Yaitu data yang diperoleh dari pihak lain. Pada penelitian ini yang merupakan data sekunder adalah data tentang jumlah siswa yang menjadi populasi dan sampel serta data nilai kuis matematika siswa kelas VIII MTsN 2 Bukittinggi sebelum penelitian.
3.      Sumber data
Sumber data dalam penelitian ini adalah :
a.       Data primer dari siswa kelas VIII MTsN 2 Bukittinggi yang menjadi sampel dalam penelitian ini.
b.      Data sekunder bersumber dari tata usaha dan guru mata pelajaran matematika kelas VIII siswa MTsN 2 Bukittinggi tahun pelajaran 2012/2013.
E.     Prosedur Penelitian
1.      Tahap persiapan
a.       Menetapkan tempat dan jadwal penelitian.
b.      Mempersiapkan materi pelajaran.
c.       Mempersiapkan perangkat pembelajaran.
d.      Mempersiapkan hal yang mendukung proses pembelajaran yaitu pembagian kelompok belajar siswa berdasarkan ketentuan pada BAB II.
e.       Mempersiapkan instrument penelitian.
f.       Mempersiapkan soal tes akhir.
2.      Tahap pelaksanaan
Pada tahap ini dalam kelas eksperimen diberi perlakuan yaitu model pembelajaran Auditory, Intelectually  And  Repetition (Air) dan pada kelas kontrol menggunakan model pembelajaran konvensional. Tahap pelaksanaan dilakukan beberapa kegiatan sebagai berikut :
Tabel 5 : Tahap Pelaksanaan Penelitian Pada Kelas Eksperimen Dan Kelas Kntrol.
Kelas eksperimen
Kelas kontrol
1.      Pembukaan
a.       Guru menyapa siswa
b.      Guru menyampaikan tujuan pembelajaran
c.       Guru member motivasi kepada siswa
1.      Pembukaan
Guru menyebutkan materi dan tujuan pembelajaran.
2.      Kegiatan Inti
Tahap Auditory
a.       Siswa dibagi ke dalam beberapa kelompok.
b.      Guru membagikan LKS.
c.       Guru member kesempatan kepada siswa untuk bertanya mengenai soal LKS yang kurang dipahami.
Tahap intellectually
d.      Guru membimbing kelompok belajar siswa untuk berdiskusi dengan teman dalam satu kelompok sehingga dapat menyelesaikan LKS
e.       Guru member kesempatan kepada beberapa kelompok untuk mempresentasikan hasil kerjanya.
f.       Guru memberi kesempatan kepada kelompok lain untuk bertanya dan mengeukakan pendapatnya.
2.      Kegiatan Inti
1.      Guru menyampaikan materi pelajaran dengan metode ceramah yang didahului oleh pendefinisian konsep.
2.      Guru memberikan beberapa contoh soal dan penerapan.
3.      Mengadakan Tanya jawab dengan siswa.
3.      Penutup
Tahap repetition
a.       Guru memberikan latihan soal individu kepada siswa.
b.      Dengan diarahkan guru, siswa membuat kesimpulan secara lisan tentang materi yang telah dibahas.
3.      Penutup
Guru memberikan latihan
F.     Instrumen Penelitian
Instrument yang digunkan dalam penelitian ini adalah :
1.      Lembar Observasi
Lembar observasi merupakan suatu pengamatan langsung untuk  melihat aktivitas siswa dan kemampuan guru dalam menglola pembelajaran. Lembaran ini digunakan pada setiap pertemuan selama  penerapan model pembelajaran interaktif. Aktivitas siswa yang diamati adalah sebagai berikut :
a.       Siswa yang memperhatikan penjelasan guru tentang materi pelajaran.
b.      Siswa yang mengajukan pendapat, berdiskusi atau bertanya selama proses pembelajaran.
c.       Siswa yang menjawab pertanyaan.
d.      Perilaku siswa yang tidak relevan dalam proses pembelajaran.
2.      Tes Hasil Belajar
Tes hasil belajar diberikan pada akhir pertemuan. Tes yang diberikan berupa tes objektif dengan langkah-langkah pembuatan soal tes sebagai berikut :
a.     Membuat kisi – kisi soal berdasarkan kurikulum dan silabus.
Kisi – kisi soal disusun dalam bentuk tabel yang memuat tentang standar kompetensi, kompetensi dasar, indicator, dan rincian materi yang akan diujikan.
b.    Menyusun soal tes akhir sesuai dengan kisi-kisi yang dibuat.
c.    Melakukan validasi tes
Validasi adalah tingkat ketepatan tes. Suatu tes  dikatakan valid apabila tes tersebut dapat mengukur apa yang seharusnya diukur. Validasi tes yang digunakan adalah validasi isi dengan cara memberikan soal-soal tes kepada beberapa orang ahli untuk menvalidasikan soal-soal yang telah dibuat tersebut.
d.   Melakukan uji coba soal tes
Sebelum soal tes digunakan, terlebih dahulu soal tes diuji cobakan pada sejumlah siswa di kelas selain kelas sampel yang mempunyai ciri yang sama dengan siswa kelas sampel.
e.    Analisis soal tes
Analisis soal bertujuan untuk mengadakan identifikasi soal-soal yang baik, kurang baik, dan soal yang jelek. Dengan analisis soal dapat diperoleh informasi tentang kejelekan sebuah soal dan petunjuk untuk mengadakan perbaikan.[10]
                        Langkah-langkah analisis soal :
1)         Mengurutkan data hasil tes mulai dari yang tertinggi hingga yang terendah.
2)         Validitas tes
Untuk menentukan validitas tes dapat digunakan korelasi poin biserial, dimana angka indeks korelasi yang diberi lambing rpbi dapat diperoleh dengan menggunakan rumus :
rpbi = (Mp – Mt) / St (p/q)
Keterangan :
rpbi         : Koefisien korelasi biserial yang melambangkan   korelasi antara variabel I dengan variabel II, yang dalam hal ini dianggap sebagai koefisien validitas item.
Mp            : Skor rata-rata dari subjek yang menjawab betul bagi item yang dicari validitasnya.
Mt          : Rata-rata skor total
St              : Standar deviasi dari skor total.
P           : Proporsi siswa yang menjawab benar.
                  p = (banyak siswa yang benar/ jumlah seluruh siswa)
q            : Proporsi siswa yang menjawab salah.
                  q = (1 – p).[11]
Tabel 6 : Kriteria Besarnya Koefisien Korelasi [12]
Koefisian Korelasi
Kriteria
0.800 – 1,00
Sangat Tinggi
0,600 – 0,800
Tinggi
0,400 – 0,600
Cukup
0,200 – 0,400
Rendah
0,000 – 0,200
Sangat Rendah


3)         Reliabilitas tes
Reliabilitas tes berhubungan dengan masalah kepercayaan. Suatu tes dapat dikatakan mempunyai taraf kepercayaan yang tinggi jika tes tersebut dapat memberikan hasil yang tetap.
Untuk menentukan reliabilitas soal objektif digunakan umus Kuder dan Richardson (K-R.20) yaitu :
            r11 = [n/(n-1)] [(S2 - pq)/(S2)]
Keterangan :
r11 : Reliabilitas tes secara keseluruhan.
p   : Proporsi subjek yang menjawab item benar.
q   : Proporsi subjek yang menjawab salah.
pq          : Jumlah hasil perkalian antara p dan q.
n   : Banyak item.
S2 : Varian total.[13]           
Tabel 7 : Kriteria Reliabilitas[14]
r11 (Reliabilitas)
Kriteria Soal
0,80 < r11 ≤ 1,00
Sangat Tinggi
0,60 < r11 ≤ 0,80
Tinggi
0,40 < r11 ≤ 0,60
Sedang
0,20 < r11 ≤ 0,40
Rendah
0,00 < r11 ≤ 0,20
Sangat Rendah


4)         Daya Pembeda
Daya pembeda soal adalah kemmpuan suatu butir soal untuk membedakan antara siswa yang berkemampuan tinggi dengan siswa yang berkemampuan rendah. Angka yang menunjukkan besarnya daya pembeda disebut indeks diskriminasi (D).[15]
Cara menghitung indeks pembeda soal adalah sebagai berikut:
a.       Data diurutkan dari nilai tertinggi sampai nilai terendah.
b.      Kemudian diambil 27 % dari kelompok yang mendapat nilai tinggi dan 27 % dari kelompok yang mendapat nilai rendah.
Untuk menentukan indeks pembeda soal objektif digunakan rumus :[16]
            Ip   : (Bt – Br)/n
Keterangan :
Ip  : Indeks pembeda soal
Bt : Jumlah jawaban benar yang dibuat oleh kelompok tinggi.
Br : Jumlah jawaban benar yang dibuat oleh kelompok rendah.
n   : 27 % dari pengikut tes.
Adapun kriteria tingkat pembeda soal berdasarkan indeks pembeda adalah dapat dilihat pada tabel berikut :[17]
Tabel 8 : Kriteria Daya Pembeda
Daya pembeda
Kriteria Soal
0,70 – 1,00
Baik Sekali (excellent)
0,40 – 0,70
Baik (good)
0,20 – 0,40
Cukup (satisfactory)
0,00 – 0,20
Jelek (poor)

5)         Indeks Kesukaran
Indeks kesukaran soal berguna untuk mengetahui apakah soal yang dibuat terlalu sukar atau terlalu mudah.
Untuk menentukan indeks kesukaran soal objektif digunakan rumus:[18]
Ik = (St + Sr) [O/2n( O – 1)]
Keterangan :
Ik   : Indeks kesukaran tes.
St  : Banyak jawaban salah yang dibuat oleh kelompok tinggi.
Sr  : Banyak jawaban salah yang dibuat oleh kelompok rendah.
O  : Banyak pilihan.
n   : 27% dari peserta tes.
Adapun kriteria tingkat kesukaran soal objektif berdasarkan indeks kesukaran dapat dilihat pada tabel berikut:[19]

Tabel 9 : Kriteria Indeks Kesukaran
Indeks Kesukaran
Kriteria
0 ≤ Ik < 0,16
Mudah Sekali
0,16 ≤ Ik < 0,50
Mudah
0,50 ≤ Ik < 0,84
Sedang
0,84 ≤ Ik 1
Sukar

G.    Teknik Analisis Data
Pada penelitian ini diperoleh data yang berasal dari instrument penelitian yaitu lembar observasi dan tes hasil belajar. Teknik analisis datanya adalah sebagai berikut:
1.         Lembar Observasi
a.     Lembar Observasi Siswa
       Untuk melihat aktivitas siswa dalam pembelajaran, maka lembar observasi dianalisis dengan menentukan presentase setiap aktivitas yang diamati, yaitu:
P%  =
Keterangan:
P%       : Persentase aktifitas siswa
F          : Jumlah siswa yang aktif
N         : Jumlah keseluruhan siswa yang diamati
Untuk menentukan presentase keaktifan siswa digunakan kriteria penilaian sebagai berikut:[20]
Tabel 10 : Kriteria Penilaian Aktifitas Belajar Siswa
Persentase Aktifitas Belajar
(kuantitatif)
Aktifitas Belajar
(kualitatif)
0%  AB 25%
Sedikit Sekali
26% AB 50%
Sedikit
51% AB 75%
Banyak
76% AB 100%
Banyak Sekali
           Keterangan : AB = Aktifitas Belajar
b.    Lembar Observasi Guru
Untuk melihat kemampuan guru dalam pembelajaran, maka lembar observasi dianalisis dengan menentukan presentase setiap aktivitas yang diamati, yaitu:
% =                 Jumlah ceklis pada data                X 100%
                                  Jumlah keseluruhan tahap pembelajaran

Untuk menentukan presentase kemampuan guru digunakan kriteria penilain sebagai berikut
Tabel 11 :Kriteria Penilaian Kemampuan Guru dalam Proses Pembelajaran.[21]

Presentase Kemampuan Guru
Kriteria
0,00 – 24,90
Sangat Kurang
25,00 – 37,50
Kurang
37,60 – 62,50
Sedang
62,60 – 87,50
Baik
87,50 – 100
Sangat Baik

2.         Tes Hasil Belajar
       Hasil belajar siswa dilihat dari tes akhir yang diberikan. Tes akhir ini terlebih dahulu dianalisis dengan melakukan uji normalitas, uji homogenitas, variansi kedua data, kemudian dilakukan uji hipotesis.
a.     Uji normalitas.
       Uji normalitas bertujuan untuk mengetahui apakah data yang diperoleh dari sampel yang berdistribusi normal atau tidak. Uji ini dilakukan dengan cara sebagai berikut:
1.        Membuat hipotesis, yaitu:
H0 : Sampel berdistribusi normal
H1 : Sampel berdistribusi tidak normal
2.        Melakukan uji normalitas dengan menggunakan uji Lilieford, dengan langkah - langkah sebagai berikut:
1)        Data X1, X2, X3,..., Xn yang diperoleh dari data terkecil hingga data yang terbesar.
2)   Data X1, X2, X3,…, Xn dijadikan bilangan baku Z1, Z2, Z3,…, Zn dimana:
Zi = (Xi – X)/S
Keterangan :
S          : simpangan baku
X          : skr rata-rata
Xi         : skor dari tiap soal
3)   Dengan menggunakan daftar distribusi normal baku kemudian dihitung peluang
F (Zi) = P ( Z < Zi)
4)   Dengan menggunakan proporsi Z1, Z2, Z3,…,Zn yang lebih kecil atau sama dengan Zi, jika proporsi ini dinyatakan dengan S(Zi) maka:
S (Zi) = Banyaknya Z1, Z2, Z3,…,Zn yang ≤ Zi
                                           n
5)   Menghitung selisih F(Zi) – S(Zi) yang kemudian ditentukan harga mutlaknya.
6)   Ambil harga yang paling besar diantara harga mutlak selisihnya disebut L0.
7)   Membandingkan nilai L0 dengan nilai kritis A yang terdapat pada taraf nyata α = 0,05. Kriteria terima yaitu hipotesis tersebut normal jika L0 < Ltabel, selain dari itu ditolak.[22]


Uji homogenitas Pada penelitian ini, pengujian dilakukan dengan bantuan software minitab, dengan langkah – langkah sebagai berikut:
1)        Input data ke dalam software minitab.
2)        Klik Star, kemudian pilih Basic Statistics dan klik Normality test.
3)        Tentukan variabel yang akan diinput kemudian klik ok.

4)        Untuk melihat data berdistribusi normal atau tidak dapat menggunakan cara interpretasi P-value, yaitu data berdistribusi
normal jika harga P-value lebih besar dari taraf nyata .
b.    Uji homogenitas
       Uji homogenitas variansi bertujuan untuk mengetahui apakah kedua kelompok data mempunyai variansi yang homogen atau tidak. Uji ini dilakukan dengan cara sebagai berikut:
1.        Hipotesis yang diajukan:
Hipotesis yang diajukan adalah:
H0 : Sampel berdistribusi homogen
H1 : Sampel berdistribusi tidak homogen
2.        Melakukan uji homogenitas dengan menggunakan uji F, dengan langkah – langkah sebagai berikut:
1)      Mencari varian masing – masing data kemudian dihitung harga F dengan rumus:[23]
F =
Keterangan:
F    : Varian kelompok data
                                            : Varian hasil belajar kelas eksperimen
                                             : Varian hasil belajar kelas kontrol
2)      Jika harga F sudah dapat, dibandingkan harga F tersebut dengan harga yang terdapat pada daftar distribusi F dengan taraf nyata 5% dan db pembilang n1- 1 dan db penyebut n2 – 1. Jika Fhitung > Ftabel berarti kedua kelompok data mempunyai varian yang tidak homogen. Sebaliknya apabila Fhitung < Ftabel maka kedua kelompok data mempunyai varian yang homogen.
Pada penelitian ini homogenitas dihitung dengan bantuan software minitab, dengan langkah – langkah sebagai berikut:
1)        Input data ke dalam software minitab.
2)        Klik Stat, kemudian pilih Basic Statistics dan klik 2-varianses.
3)        Tentukan sample yang akan diinput kemudian klik ok.
4)        Data dikatakan homogen jika P-value yang diperoleh lebih besar taraf nyata
c.    Uji hipotesis
       Uji hipotesis bertujuan untuk melihat perbandingan hasil belajar matematika siswa kelas eksperimen dan kelas kontrol. Uji yang dilakukan dengan hipotesis adalah uji satu pihak. Dengan hipotesis yaitu:
H0 : μ1 = μ2 :   Hasil belajar matematika siswa yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran interaktif sama dengan hasil belajar matematika siswa yang menggunakan pembelajaran konvensional.
H1: μ1 > μ2 :    Hasil belajar matematika siswa yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran interaktif lebih baik dari pada hasil belajar matematika siswa yang menggunakan pembelajaran konvensional.
Dimana μ1 adalah rata – rata kelas eksperimen dan μ2 adalah rata – rata kelas kontrol.
Langkah – langkah yang dilakukan:
1)   Apabila data berdistribusi normal dan mempunyai variansi yang homogen, maka uji statistik yang digunakan adalah:[24]
      dengan 
Keterangan:
        : Skor rata-rata kelas eskperimen
        : Skor rata-rata kelas kontrol
S          : Simpangan baku gabungan
n1            : Jumlah siswa kelas eksperimen
n2         : Jumlah siswa kelas kontrol
S12        : Simpangan baku kelas eksperimen
S22        : Simpangan baku kelas kontrol
Kriteria pengujiannya:
       Terima H0, jika  dimana  didapat dari daftar distribusi t dengan derajat kebebasan (dk) = n1 + n2 – 2 dengan peluang .
2)   Apabila data berdistribusi normal tetapi mempunyai variansi yang tidak homogen maka digunakan rumus yang digunakan:
     
Kriteria pengujiannya:
       Tolak H0 jika  dan diterima H0 dalam hal lainnya.
Dimana :
                                             
                                                                                                             




[1] Sumadi Surtabrata, Metodologi Penelitian, ( Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), h.88
[2] Sumadi Suryabrata, …, h. 104
[3] Margono, Metodologi Penelitian Pendidikan, (Jakarta : Rineka Cipta, 2007), h. 118
[4] Sugiono, Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kualitatif, dan R dan D, (Bandung : Alfabeta, 2009), h. 118
[5] Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian, (Jakarta : Rineka Cipta, 2006), h. 130
[6] Sumadi Suryabrata, …, h. 37
[7] Ronald E. Walpole, Pengantar Statistik, ( Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 1992 ), cet-3, h. 391.
[8] Ronald E Walpole, …, h. 383
[9] Ronald E Walpole, …, h. 387
[10] Suharsimi Arikunto, Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan, (Jakarta : PT Bumi Aksara, 2008 ), cet-8, h. 206
[11] Suharsimi Arikunto, Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan, …, h. 79
[12] Suharsimi Arikunto, Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan, …, h. 75

[13] Suharsimi Arikunto, Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan, …, h. 100

[14] Suharsimi Arikunto, Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan, …, h. 75

[15] Suharsimi Arikunto, Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan, …, h. 211
[16] Pratiknyo Prawironegoro, Evaluasi Hasil Belajar Khusus Analisis Soal Untuk Bidang Studi Matematika, (Jakarta : Forum Jakarta, 1985), h. 12
[17] Suharsimi Arikunto, Dasar – Dasar Evaluasi Pendidikan,…, h.218.

[18] Pratiknyo Prawironegoro,…, h.14.
[19] Pratiknyo Prawironegoro,…, h.16.

[20] Dimyati dan mudjiono, Belajar dan Pembelajaran, (Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, 1994), h. 251.
[22] Sujdana, Metode Statistik, (Bandung: Tarsito, 2002), h.466.
[23] Sujdana,…,  h.249.

[24] Sujdana, …, h.242.

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian. Jakarta : Rineka Cipta. 2006

Arikunto, Suharsimi. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta : PT Bumi Aksara. 2008

Budiansyah, Dasim. Pembelajaran Aktif Kreatif dan Menyenangkan. Bandung : PT Genesindo. 2008

Departemen Agama RI.  Alquran dan Terjemahan. Jakarta : yayasan penyelenggaraan penerjemah AlQuran. 1983

Dimyati dan Mudjiono. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta : Direktorat Jenderal Pendidikan tinggi. 1994

Dimyati dan Mudjiono. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta : Rineka Cipta. 2002
Lie, Anita. Cooperative Learning di Ruang-ruang Kelas. Jakarta : Grasindo. 2002
Margono. Metodologi Penelitian Pendidikan. Jakarta : Rineka Cipta. 2007
Mulyasa, E. Menjadi Guru Professional Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan Menyenangkan. Bandung : PT Remaja Rosdakarya. 2009

Prawironegoro, Pratiknyo. Evaluasi Hasil Belajar Khusus Analisis Soal untuk Bidang Studi Matematika. Jakarta : Forum Jakarta. 1985

Salvin, Robert E. Cooperative Learning Teori, Riset dan Praktek. Bandung : Nusa Media. 2009
Sardiman. Interaksi dan Motivasi Balajar Mengajar. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada. 1986
Slameto. Belajar dan Factor-Faktor Yang Mempengaruhinya. Jakarta : PT Rineka Cipta. 1995
Sudjana, Nana. Penilaian Hasil Proes Belajar Mengajar. Bandung : PT Remaja Rosdakarya. 1999

Sugiono. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kualitatif dan R dan D. Bandung : Alfabeta. 2009

Suherman, Erman. Common Text Book Strategi Pembelajaran Matematika Contemporer. Bandung : JICA Universitas Pendidikan Indonesia. 2003

Sujdana. Metode Statistik. Bandung : Tarsito. 2002

Suprijono, Agus. Cooperative Learning Teori dan Aplikasi PAIKEM. Surabaya : Pustaka Belajar. 2009

Suryabrata, Sumadi. Metodologi Penelitian. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada. 2004

Uno, Hamzah dan Nurdin Mohamad. Belajar dengan Pendekatan Pembelajaran Aktif Inovatif Lingkungan Kreatif Efektif Menarik. Jakarta : Bumi Aksara. 2011

Usman, Moh Uzer. Mnejadi Guru Profesional. Bandung : PT Remaja Rosdakarya. 2008
Walpole, Ronald E. Pengantar Statistic. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama. 1992